BUKA LUWUR SEBAGAI UPACARA SAKRAL DI KUDUS, JAWA TENGAH
Secara
geografis, kabupaten Kudus sebagai salah satu di kabupaten di Jawa Tengah,
letaknya berbatasan dengan empat Kabupaten yaitu Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan
dan Kabupaten Demak. Luas Kabupaten
Kudus sebesar 42.575,654 hektra, secara administrataif terbagai menjadi
9 keacamatan dan 124 desa serta 7 kelurahan. Kabupaten Kudus merupakan kota
Industri dan Perdagangan yang memiliki banyak potensi dalam menunjang laju
pertumbuhan ekonomi yang penyebarannya secara merata telah sampai ke
plosok-plosok desa, sehingga mampu menumbuhkan produktifitas, distribusi dan
konsumsi barang dan jasa untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat baik secara individu maupun
kelompok. Kudus atau yang lebih dikenal dengan kota kretek ini memiliki banyak
sekali upacara
tradisional yang khas. Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan
Buka Luwur.
Buka
Luwur merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat. Buka
Luwur di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka
Luwur di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka
Luwur di Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus. Hal ini,
disebabkan karena dalam tradisi Buka Luwur mempunyai perbedaan dengan tradisi
yang lain khususnya di Kudus. Diantaranya adalah terdapat rentetan acara yang
panjang dan mempunyai fungsi nyata dalam kehidupan sosial. Di samping itu juga
terdapat simbol-simbol yang masih erat hubungannya dengan nilai-nilai tradisi
setempat yang berlaku. Ada prosesi penyucian pusaka yang diyakini milik Sunan
Kudus yang diangap akan mendatangkan berkah.
Fenomena keagamaan
seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut
hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang ghaib. Di
samping itu juga terdapat ziarah dan penggantian kain penutup makam Sunan
Kudus, yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah ceremony yang menarik. Islam
dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Namun keduanya dapat saling
mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah
mempengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akan tetapi aspek
sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis.
Penyelenggaraan upacara peringatan terhadap
orang-orang yang sudah meninggal menjadi tradisi yang sangat kuat, terutama
orang yang asuadah meninggal tersebut adalah seorang tokoh terkenal dalam
bidang agama dan kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah
upacara yang dianggap sakral oleh masyarakat Kudus, yaitu upacara tradisional Buka
Luwur. Tradisi yang dilakukan turun temurun
oleh masyarakat Kudus ini memang unik dan menyedot partisipasi masyarakat umum,
bukan hanya masyarakat asli Kudus tapi masyarakat di luar Kudus pun ikut turut
serta dalam acara tersebut. Masyarakat berbondong-bondong untuk mendapatkan
kelambu atau kain putih yang disebut dengan Luwur, mereka ingin mendapatkan
“berkah” dari wali yang bersangkutan. Masyarakat meyakini bahwa atsar doa
dari para peziarah menempel pada kain luwur tersebut. Pasalnya dalam
pelaksanaan malam 10 Suro, tidak hanya
prosesi penanggalan kain putih penutup makam saja, akan tetapi dilanjutkan
dengan berbagai acara mulai dari khotmil qur’an dan pengajian umum yang
dilanjutkan dengan pembagian nasi bungkus.
Buka luwur merupakan upacara
peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan
setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian masyarakat yang
menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur diadakan tanggala 10 Syuro atau
10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut dianggap keramat.
Akan tetapi menurut seorang sesepuh Kudus yang menjadi ulama yang disegani oleh
masyarakat Kudu, yaitu KH. Ma’ruf Asnawi yang telah berusiaa kurang lebih 90
tahun mengatakan bahwa upacara Buka Luwur itu sebenarnya adalah dalama rangka
Khaul Mbah Sunan Kudus, yang memang tanggal 10 Muharram atau 10 Syura adalah
tanggal wafat beliau.
Secara kronologis, sebenarnya proses
upacara Buka Luwur diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang
diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro,
yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum sebelum bulan Syura). Biasanya air
bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan
“kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya,
karena mengharap “berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura
dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih dan makam yang sudah tahun
digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu
atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena
untuk mendapatkan “berkah”. Menurut K.H. Ma’ruf Asnawi, pernah pada waktu dulu
kelambu atau kain putih penutup makam tidak diganti, kemudian timbul kebakaran
pada kelambu tersebut.
Pada malam tanggal 9 Muharram atau
Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan
mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah Shalat Subuh
diadakan khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir). Sementara
khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu makanan yang berupa bubur
yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempah-rempah. Hal ini
dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir
yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat
berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan “bubur suro” pada saat khataman
Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang biasanya berupa
kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam
acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing.
Kemudian pada malam harinya, yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian
umum yang isinya mengenai perjuangan dan kepribadian Sunan Kudus yang
diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.
Pada pagi hari tanggal 10 Muharram
setelah Shalat Subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang
diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus
diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu. Bersamaan dengan itu
diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah dimasak
kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah
untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap
memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit, walaupun
hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan”
(nasinya sunan kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasia
tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.
Berbicaralah masalah upacara
tradisional Buka Luwur tentu tidak terlepas dari konteks kebudayaan.
Keterkaitan antara kebudayaan dan masyarakat tampak jelas. Secara esensial
kebudayaan mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami
bagaimana ia harus bertindak, berbuat dan menentukan sikap dalam hubungan dengan
orang lain. Masyarakat dan kebudayaan senantiasa berkembang dan mengalami
perubahan seiring dengan peradaban manusia.
Konsep dan definisi kebudayaan
mengisyaratkan bahwa kebudayaan akan terus berubah seiring dengan perubahan
tempat dan waktu. Dalam pembentukan kebudayaan, perbuatan atau kerja merupakan
realisasi dari akal. Alat bekerja untuk memahami kebenaran secara utuh melalui
pikiran yang memikirkan alam manusia dan sejarah, sedangkan kalbu memahami
firman Tuhan dan sunnah Allah dalam pengertian kebudayaan adalah proses
mewujudkan konsep-konsep, serta rencana-rencana dalam kenyataan. Sedangkan
kelangsungan dan perubahan ekspresi budaya dalam kebudayaan Islam tetap
mengarah pada tauhid.
Nama : Ainun
Rosidah Diana Sofyan
Kelas : XII IPA
3