Sabtu, 02 Januari 2016



BUKA LUWUR SEBAGAI UPACARA SAKRAL DI KUDUS, JAWA TENGAH

Secara geografis, kabupaten Kudus sebagai salah satu di kabupaten di Jawa Tengah, letaknya berbatasan dengan empat Kabupaten yaitu  Jepara, Kabupaten Pati, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Demak. Luas Kabupaten  Kudus sebesar 42.575,654 hektra, secara administrataif terbagai menjadi 9 keacamatan dan 124 desa serta 7 kelurahan. Kabupaten Kudus merupakan kota Industri dan Perdagangan yang memiliki banyak potensi dalam menunjang laju pertumbuhan ekonomi yang penyebarannya secara merata telah sampai ke plosok-plosok desa, sehingga mampu menumbuhkan produktifitas, distribusi dan konsumsi barang dan jasa untuk meningkatkan taraf  hidup masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Kudus atau yang lebih dikenal dengan kota kretek ini memiliki banyak sekali upacara tradisional yang khas. Misalnya, Dhandhangan, Bulusan, Tradisi Hutan Masin dan Buka Luwur. 

Buka Luwur merupakan salah satu wujud dari hubungan Islam dengan tradisi setempat. Buka Luwur di Kudus terdapat di dua tempat yaitu di Muria dan di Masjid Menara. Buka Luwur di Muria dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Muria sedangkan Buka Luwur di Masjid Menara dalam rangka peringatan wafatnya Sunan Kudus. Hal ini, disebabkan karena dalam tradisi Buka Luwur mempunyai perbedaan dengan tradisi yang lain khususnya di Kudus. Diantaranya adalah terdapat rentetan acara yang panjang dan mempunyai fungsi nyata dalam kehidupan sosial. Di samping itu juga terdapat simbol-simbol yang masih erat hubungannya dengan nilai-nilai tradisi setempat yang berlaku. Ada prosesi penyucian pusaka yang diyakini milik Sunan Kudus yang diangap akan mendatangkan berkah.

Fenomena keagamaan seperti ini adalah perwujudan sikap dan perilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat, dan berasal dari sesuatu yang ghaib. Di samping itu juga terdapat ziarah dan penggantian kain penutup makam Sunan Kudus, yang kesemuanya itu dikemas dalam sebuah ceremony yang menarik. Islam dan budaya adalah dua hal yang berbeda. Namun keduanya dapat saling mempengaruhi. Islam sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Akan tetapi aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis.

Penyelenggaraan upacara peringatan terhadap orang-orang yang sudah meninggal menjadi tradisi yang sangat kuat, terutama orang yang asuadah meninggal tersebut adalah seorang tokoh terkenal dalam bidang agama dan kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dengan adanya sebuah upacara yang dianggap sakral oleh masyarakat Kudus, yaitu upacara tradisional Buka Luwur. Tradisi yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat Kudus ini memang unik dan menyedot partisipasi masyarakat umum, bukan hanya masyarakat asli Kudus tapi masyarakat di luar Kudus pun ikut turut serta dalam acara tersebut. Masyarakat berbondong-bondong untuk mendapatkan kelambu atau kain putih yang disebut dengan Luwur, mereka ingin mendapatkan “berkah” dari wali yang bersangkutan. Masyarakat meyakini bahwa atsar doa dari para peziarah menempel pada kain luwur tersebut. Pasalnya dalam pelaksanaan  malam 10 Suro, tidak hanya prosesi penanggalan kain putih penutup makam saja, akan tetapi dilanjutkan dengan berbagai acara mulai dari khotmil qur’an dan pengajian umum yang dilanjutkan dengan pembagian nasi bungkus.
 
Buka luwur merupakan upacara peringatan wafatnya sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur diadakan tanggala 10 Syuro atau 10 Muharram, hal itu disebabkan karena pada tanggal tersebut dianggap keramat. Akan tetapi menurut seorang sesepuh Kudus yang menjadi ulama yang disegani oleh masyarakat Kudu, yaitu KH. Ma’ruf Asnawi yang telah berusiaa kurang lebih 90 tahun mengatakan bahwa upacara Buka Luwur itu sebenarnya adalah dalama rangka Khaul Mbah Sunan Kudus, yang memang tanggal 10 Muharram atau 10 Syura adalah tanggal wafat beliau.
Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur diawali dengan penyucian pusaka yang berupa keris yang diyakini milik Sunan Kudus yang dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syuro, yaitu pada akhir Besar (nama bulan sebelum sebelum bulan Syura). Biasanya air bekas untuk mencuci keris tersebut yang dalam bahasa jawa disebut dengan “kolo”, diperebutkan masyarakat yang memiliki keris untuk mencuci kerisnya, karena mengharap “berkah” dari sunan Kudus. Kemudian pada tanggal 1 Syura dilakukan pencopotan kelambu atau kain putih dan makam yang sudah tahun digunakan. Kelambu atau kain putih itulah yang disebut dengan Luwur. Kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat karena untuk mendapatkan “berkah”. Menurut K.H. Ma’ruf Asnawi, pernah pada waktu dulu kelambu atau kain putih penutup makam tidak diganti, kemudian timbul kebakaran pada kelambu tersebut.

Pada malam tanggal 9 Muharram atau Syuro diadakan pembacaan Barjanji (berjanjen) yang merupakan ekspresi kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Tanggal 9 Muharram setelah Shalat Subuh diadakan khataman (pembacaan Al Quran dari awal sampai akhir). Sementara khataman berlangsung dibuatlah “bubur suro” yaitu makanan yang berupa bubur yang diberi bumbu yang berasal dari berbagai macam rempah-rempah. Hal ini dimaksudkan sebagai “tafa’ul” kepada Nabi Nuh setelah habisnya air dari banjir yang melanda kaumnya, sedangkan makanan tersebut diyakini dapat menjadi obat berbagai macam penyakit. Di samping pembuatan “bubur suro” pada saat khataman Al Quran berlangsung, juga diadakan penyembelihan hewan yang biasanya berupa kambing dan kerbau, menurut salah seorang yang pernah menjadi panitia dalam acara tersebut kambing yang disembelih bisa mencapai 80 hingga 100 kambing. Kemudian pada malam harinya, yaitu malam tanggal 10 Muharram diadakan pengajian umum yang isinya mengenai perjuangan dan kepribadian Sunan Kudus yang diharapkan menjadi teladan oleh masyarakat.

Pada pagi hari tanggal 10 Muharram setelah Shalat Subuh dimulailah acara penggantian kelambu atau kain putih yang diawali dengan pembacaan ayat suci Al Quran dan tahlil yang hanya khusus diikuti oleh para kyai, lalu mulailah pemasangan kelambu. Bersamaan dengan itu diadakan pembagian makanan yang berupa nasi dan daging yang sudah dimasak kepada masyarakat, yang dibungkus dengan daun jati. Masyarakat bersusah payah untuk mendapatkan nasi dan daging tersebut, sebab makanan tersebut dianggap memiliki berkah dan banyak mengandung kahsiat menyembuhkan penyakit, walaupun hanya mendapatkan sedikit, nasi tersebut biasa disebut dengan “sego mbah sunan” (nasinya sunan kudus). Setelah acara penggantian kelambu dan pembagian nasia tersebut, berakhir sudah upacara Buka Luwur.

Berbicaralah masalah upacara tradisional Buka Luwur tentu tidak terlepas dari konteks kebudayaan. Keterkaitan antara kebudayaan dan masyarakat tampak jelas. Secara esensial kebudayaan mengatur kehidupan manusia agar mengerti dan mampu memahami bagaimana ia harus bertindak, berbuat dan menentukan sikap dalam hubungan dengan orang lain. Masyarakat dan kebudayaan senantiasa berkembang dan mengalami perubahan seiring dengan peradaban manusia.

Konsep dan definisi kebudayaan mengisyaratkan bahwa kebudayaan akan terus berubah seiring dengan perubahan tempat dan waktu. Dalam pembentukan kebudayaan, perbuatan atau kerja merupakan realisasi dari akal. Alat bekerja untuk memahami kebenaran secara utuh melalui pikiran yang memikirkan alam manusia dan sejarah, sedangkan kalbu memahami firman Tuhan dan sunnah Allah dalam pengertian kebudayaan adalah proses mewujudkan konsep-konsep, serta rencana-rencana dalam kenyataan. Sedangkan kelangsungan dan perubahan ekspresi budaya dalam kebudayaan Islam tetap mengarah pada tauhid.

Nama   : Ainun Rosidah Diana Sofyan
Kelas   : XII IPA 3